Home » »

Posted by Makalah Kita on Sabtu, 09 Mei 2015



AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
KELOMPOK 7
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam yang di ampu oleh
Wahyu Setiawan, M. Ag.

 



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktunya.
Selesainya penyusunan makalah ini berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih kepada :
1.      Dosen pengampu mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan tugas dan petunjuk dalam mengerjakan makalah sehingga kami termotivasi untuk menyelesaikan makalah ini.
2.    Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis.
3.    Dan teman-teman satu kelompok, berkat  bekerjasamanya makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyususnan makalah ini dari awal sampai akhir.

                                                                                                Metro,  22 Oktober 2014

                                                                                               

                                                                                                            Penulis







DAFTAR ISI
Halaman Awal................................................................................................................      i
Kata Pengantar...................................................................... ........................................     ii
Daftar Isi.......................................................................................................................     iii
BAB I  PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang..................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................... 1
C.     Tujuan................................................................................................................. 1
BAB II  ISI
A.     Pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah.................................................................. 2
B.     Sejarah Munculnya Ahlussunnah Wal Jamaah..................................................... 3
C.     Al-Asy’ari........................................................................................................... 4
D.     Al-Maturidi......................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan......................................................................................................... 11




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan mahzab yang paling dominan dalam sejarah umat Islam. Ahlussunnah Wal Jamaah adalah aliran yang membahas ajaran-ajaran dasar agama Islam yang muncul pada akhir abad ke-3 H yang dipimpin oleh dua orang ulama besar yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Ahlusunnah Wal Jamaah sering disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni dan juga disebut Asy’ari atau Asy’ariyah yang dikaitkan dengan ulama besar yang pertama yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari.
Aliran Al-Maturidiyah tidak jauh berbeda dengan aliran Al-Asyariyah karena kedua lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran Al-Asyariyah berkembang di Basrah, maka aliran Al-Maturidiyah berkembang di Samargand.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kami akan membahas tentang aqidah Asy’ariyah dan aqidah Maturidiyah diantaranya:
1.    Apakah pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah?
2.    Bagaimana sejarah munculnya aliran Ahlussunnah Wal Jamaah?
3.    Bagaimana aliran yang dipimpin oleh Al-Asy’ari?
4.    Bagaimana aliran yang dipimpin oleh Al-Maturidi?

C.   Tujuan
Adapun tujuan rumusan masalah di atas, diantaranya:
1.    Mengetahui dan memahami pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah.
2.    Mengetahui dan memahami sejarah munculnya Ahlussunnah Wal Jamaah.
3.    Mengetahui dan memahami sejarah dan aliran yang dipimpin oleh  Al-Asy’ari.
4.    Mengetahui dan memahami sejarah aliran yang dipimpin Al-Maturidi.




BAB II
ISI

A.              Pengertian Ahlussunah Wal Jaamaah

Alhussunah wal jamaah adalah istilah yang berasal dari:
1.    Ahl (Ahlun), berarti ”golongan” atau ”pengikut”
1.    Al-Sunnah berarti ”tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan para sahabat Rasulullah saw.
2.    Wa, huruf ’athf yang berarti ”dan” atau ”serta”
3.    Al-Jamaah berarti jama’ah, yakni jamaah para sahabat Rasulullah Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.

Secara etomologis, istilah ”Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpeganag teguh pada sunnah Rasulullah dan sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ’Affan, dan Ali bin Abi Thalib.[1]
Mahmud Syukri al-Alusi menyatakan bahwa ahlussunnah adalah pengikut keluarga rasulullah Saw., yakni orang-orang yang mengikuti thariqah keluarga rasul, dan memenuhi seruannya. Para pemuka madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang lainnya adalah para pemimpin ahlussunnah wal jama’ah karena mereka mengambil ilmu dari para leluhurnya yang mengikuti petunjuk rasul Saw. dan keluarganya.[2]
Sedangkan menurut Abu al-Fadl bin al-Syekh ‘Abd. Al-Syakur al-Sanuri dalam kitabnya “Al Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahlus Sunnah wa al-Jamaah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah golongan yang senantiasa berpegang teguh mengikuti Sunnah Rasul Saw. Dan petunjuk (thariqah) para sahabatnya, baik dalam lingkup aqidah, ibadah, maupun dalam lingkup akhlaq.[3]
Ungkapan Ahlussunnah sering disebut dengan Sunni. Sunni dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu secara umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah. Dalam pengertian ini, Muktazilah –sebagaimana juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan Sunni. Sedangkan dalam pengertian khusus adalah mahzab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Muktazilah.[4]

B.             Sejarah
Istilah Ahli Sunah dan Jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan mahzab Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya di zaman khalifah-khalifah Bani Abas al-Makmum, al-Muktasim dan al-Wasiq (813 M – 847 M). Di masa al-Makmum di tahun 872 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mahzab resmi yang dianut negara.
Bertentangan dengan paham Kadariah, yang dianut kaum Muktazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, justru para pemuka Muktazilah memakai kekerasan dalam usaha menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialaha paham bahwa Alquran tidak bersifat kadim, tetapi baharu dan diciptakan. Menurut mereka yang kadim hanyalah Allah. Kalau lebih dari satu zat yang kadim, berarti kita telah menyekutukan Allah atau syirik pada Allah. Quran menurut mereka adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mahzab itu, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mahzab. Di antara ilmuwan ahli hadis yang menjalani tes resmi itu adalah Imam Ahmad Ibn Hambal, yang menjadi pemimpin mahzab Hambali. Ilmuwan tersebut dijatuhi hukuman mati, namun tidak dilaksanakan karena telah terjadi ergantian khalifah karena khalifah lama wafat.
Paham Ahsunnah muncul atas usaha Al-Asy-ari. Konon ia menyatakan bahwa paham Muktazilah seasat. Versi lain menyatakan habwa sikap tersebut diambil karena perbedaan paham antara Asyari dengan gurunya. Perdebatan itu disusul kesangsian akan kebenaran kedua ajaran tersebut, karena dalil-dalil yang digunakan sama-sama kuat. Sebagai penganut mahzab Imam Syafi’i yang berbeda pandangan dengan ajaran Muktazilah, akhirnya Asyari memastikan diri untuk meninggalkan mahzab Muktazilah, setelah memohon petunjuk dari Allah.

C.    TOKOH TOKOH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

1.      Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asya’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishak bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 517 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Muktazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 231 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Muktazilah.[5] Ia juga salah seorang andalan Muktazilah karena sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Muktazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya.[6]
Setelah 40 tahun menganut paham Muktazilah, tetapi kemudian ia menjauhkan diri dari Mu’tazilah dan tinggal beberapa lama di rumahnya mempertimbangkan alasan-alasan dari Mu’tazilah dan dari ulama-ulam fiqh dan ulama-ulama hadits pada suatu hari ia keluar ke masjid ­jami’ di Basharah pada suatu hari jumat, lalu naik ke atasa mimbar dan berkata dengan lantang: ”Wahai manusia! Barang siapa diantara kamu yang kenal pada saya, ia sudah mengenal saya. Tetapi barang siapa tidak mengenal saya, saya akan memperkenalkan diri yang bahwa saya ini adalah Abdul Hasan Al-Asy’ari , yang beberapa waktu meyakini bahwa Alquran itu makhluk dan baharu dan bahwa Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan bahwa perbuatan jahat itu saya sendiri yang mengerjakannya, bukan dengan qada dan qada yang sudah taubat dan saya sekarang menantang paham Mu’tazilah tentang kesalahan pendiriannya. Wahai manusia yang hadir! Ketahuilah bahwa saya ini hilang beberapa lama dari pergaulan, karena aku betul-betul sedang mempelajari pertengkaran dan alasan-alasannya dari pada golongan besar ini. Sekarang Tuhan telah memberi petunjuk kepadaku. Aku teguh dalam pendirianku dan kutulis semua dalam buku ini (sambil ia memperlihatkan kepada umum sebuah risalah yang terdiri dari pendirian-pendiriannya). Aku sudah membuang paham Mu’tazilah itu, sebagaimana aku membuka bajuku ini sekarang dan melemprakannya ke tengah-tengahmu.”
Al-Asy’ari memperlihatkan tantangannya terhadap Mu’tazilah dan pokok-pokok pendiriannya terhadap keyakinan yang kemudian menjadi keyakinan seluruh anggota ahli sunah wal jama’ah. [7] Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunnah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal Jamaah selalu diartikan pada kelompok paham teologi Asyariah maupun Maturidiah.
Pandangan Asyari sebagai tokoh yang dikaitkan dengan paham Sunah wal Jamaah, dalam ilmu kalam dapat kita ikuti dari karya-karya ilmunya, terutama Kitab al-Luma’ Fil-Rad ’Ala Ahlul-Ziagh wal-Bida’ dan al-Ibanah ’an Usul al-Dianah, di samping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Bahwa Tuhan Allah Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti Yang Melihat, Yang Mendengar, Yang Adil, dan sebagainya, namun tidak dengan cara yang ada pada makhluk. Artinya ”bila kaifa”, atau harus ditakwilkan lain.
2.    Quran itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.    Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4.    Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan
5.    Mengenai anthropomotfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun (bila kaifa).
6.    Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep ’janji dan ancaman’ (al-wa’d wa al-wa’id) dari aliran Muktazilah.
7.    Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal-manzilatain), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidaka ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.[8]

Dalam bidang i’tikad akan disebutkan beberapa garis-garis pokok yang merupakan titik perjuangan Ahli Sunnah Wal Jamaah.
Salah satu diantaranya menetapkan adanya malaikat-malaikat-Nya, adanya kitab-kitab suci-Nya, adanya rasul-rasul-Nya, adanya sesuatu yang datang dari Allah, mengaku benar dan tidak menolak sesuatu riwayat yang jujur datang dari Rasulullah, lain daripada itu mengakui bahwa Allah ta’ala itu satu tunggal, satu kekuatan penciptaannya, tidak ada Tuhan selain dia, tidak ada teman-Nya dan tidak ada anak-Nya, dan bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan rasul-Nya, surga dan neraka itu benar, akhir masa dunia akan datang dengan tidak sak-wasangaka, bahwasanya Allah akan membangkitkan hamba-Nya dari dalam kubur, bahwa Allah ta’ala bersemayam diantara Arasy, sebagaimana dikatakannya dalam Quran: ”Tuhan Yang Maha Pemurah Itu bersemayam diantar ”arasy”, bahwa Tuhan punya wajah, sebagaimana dikatakan dalam Quran: ”Tatlakala akan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulyaan”, bahwa Tuhan mempunyai tangan, seperti yang disebutkan dalam Quran: ”Mengikuti dengan kedua mata kami”, bahwa Tuhan mempunyai ilmu, sebagaimana tersebut dalam Quran: ”Ia menurunkannya dengan ilmunya”, selanjutkannya konsepsi ini membenarkan ada kekuasaan atau qodrat Allah, seperti tersebut dalam Quran: ”Apakah mereka tidak melihat, bahwa Allahlah yang menjadikan mereka itu, Allah itu mempunyai kekuasaan yang melebihi kekuasaan mereka”, diakui Tuhan mempunyai sama’ dan bashar, pendengaran dan penglihatan, tidak kami ingkari seperti yang diingkari Mu’tazilah dan Jahmiyah.
Selain daripada itu wajib diakui dalam keyakinan, bahwa kalam Tuhan itu bukan makhluk, bahwa Tuhan tidak menjadikan sesuatu melainkan dengan mengatakan: ”Kun, jadilah engkau”, maka yang dikehendaki Tuhan: ”Fayakun, maka jadilah ia”. Selanjutnya mengakui tidak ada sesuatu kejahatan dan kebijakan yang terjadi diantara muka bumi ini melainkan dengan kehendak Tuhan, bahwa segala sesuatu terjadi dengan iradat Tuhan, tidak berkuasa kita keluar daripada ilmu pengetahuan Tuhan, bahwa seseorang tidak sanggup berbuat sesuatu, sebelum dijadikan Tuhan, tidak dapat kita berlepas diri dari segala-segalanya daripada kekuasaan Tuhan, tidak ada pencipta melainkan Allah, bahwa segala amal ibadah dijadikan dan ditentukan untuk Allah, sebagaimana tersebut dalam Quran: ”Dan Allah itu menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat, bahwa hamba Allah itu tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi sebaliknya ia menciptakan, bahwa Allah itu memberi taufik kepada orang mu’min untuk mentatainya, mempunyai belas kasih untuk hamba, mengawasi mereka, jika Tuhan memperbaiki mereka, maka manusia itu menjadi baik, Tuhan memberi petunjuk, maka mereka mendapat petunjuk, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran:”Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, ia akan beroleh petunjuk, barang siapa disesatkan, maka hamba itu akan merugi selama-lamanya.”[9]
Tuhan dan sifat-Nya

Sifat yang wajib
Sifat yang mustahil
1. Wujud, artinya ada
Tiada
 2. Qidam, artinya sedia (adanya tak didahului oleh tiada)
Baharu (adanya didahului oleh tiada)
 3. Baqa, artinya kekal (adanya tak berkahir
Fana, (adanya berakhir)
4. Mukhalafatu lilhawaditsi, artinya tidak sama dengan yang baru
Serupa dengan yang baharu
5. Qiyamuhu Binafsihi, artinya sendiri (tak berhajad pada orang lain
Membutuhkan bantuan orang lain
6. Wahdaniya, artinya esa
Berbilang
7. Qudrah, artinya berkuasa
Lemah
8. Iradah, artinya berkehendak
Terpaksa
9. Ilmu, artinya mengetahui
Bodoh
10. Hayat, artinya hidup
Mati
11. Sama’ , artinya mendengar
Tuli
12. Bashar, artinya melihat
Buta
13. Kalam, artinya berkata-kata
Bisu
14. Qadirun, artinya yang berkuasa
Yang lemah
15. Muridum, artinya yang berkehendak
Yang terpaksa
16. ’Alimun, artinya yang mengetahui
Yang bodoh
17. Hayun, artinya yang hidup
Yang mati
18. Sami’un, artinya yang mendengar
Yang tuli
19. Bashirun, artinya yang melihat
Yang buta
20. Mutakalimun, artinya yang berkata-kata
Yang bisu[10]

Mahzab Al-Asy’ari perpendapat, bahwa yang menjadikan perbuatan hamba itu adalah Qudrah Allah, tetapi besertanya ada Qudrah manusia. Qudrah Allah lah yang sebesranya memberi bekas. Qudrah manusia tidak memberi bekas apa-apa.[11]
Koreksi atas Ajaran Asyari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asyari adalah sebagai berikut. Muhammad Abu al-Baillani (w. 1013 M), meski tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asyari. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan al-Asyari. Menurutnya, manusia mempunyai andil efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asyari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abd al-Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 M). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut dengan tangan Allah harus diartikan (takwil) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar “bila kaifa” atau todak seperti apa pun, seperti dikatakan Asyari. Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya tarik yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian seterusnya, sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. Dengan demikian al-Juwaini berada jauh dari paham al-Asyari, sebaliknya dekat dengan paham Muktazilah tentang hokum sebab akibat (causality).

Imam Al-Gazali
Abu Humaid al-Gazali (1058-1111 M) adalah pengikut al-Asyari terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Alhi Sunah wal Jmaah. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham al-Asyari. Al-Gazali menyakini bahwa: (1) Tuhan mempunyai sifat sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat; (2) juga Alquran bersifat qadim dan tidak diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa (3) Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupaiimpotensi. Selanutnya al-Gazli perpaham bahwa 94) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang berwujud pasti dapat dilihat; (5) Al-Gazali juga beranggapan bahwa Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa secara mutlak untuk melakukan apa pun, termasuk mengampuni orang kafir atau menyiksa orang mukmin.
Berkat al-Gazali paham Asyari dengan Sunah wal Jamaahnya berhasil berkembang ke manapun, meski di masa itu pengaruh aliran Muktazilah amat kuat di bahwah pasang naik dan pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Di masa al-Mutawakil, Muktazilah mengalami surut. Sebaliknya Bani Buwaihi sejak tahun 945 M, dari kelompok Syiah, kaum Muktazilah mengalami naik lagi. Ketika kekuatan Bani Seljuk berhasil menguasai Bagdad, kembali paham Sunah yang mengalami pasang naik. Di masa kekuasan Bani Seljuk itulah didirikan perguruan Nizamiyah, tempat al-Gazali mendapatkan peluang resmi sebagai guru besar untuk mengajarakan pahamnya.[12]

2.      Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun lahir Al-Maturidi diperkirakan sekitar abad pertengahan ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa khalifah Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/837-861 M.[13]
Sebagaimana paham Asyariah aliran Maturidiyah termasuk aliran besar sunnah wal jamaah. Aliran ini dipelopori oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Al-Maturidi adalah pengikut Imam Abu Hanifah. Paham-paham teolognya terlihat banyak persamaannya dengan paham teologi Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang diajararkan Abu Manshur termasuk Maturidiah. Al-Maturidiay banyak memakai akal dalam system teologinya.
Oleh karena itu, antara teologinya dan teologi Al-Asy’ari terdapat perbedaan dan persamaan:
1) Dalam soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan dengan paham Asyari, yaitu bahwa Tuhan memiliki sifat.
2) Sama dengan Al-Asyari, Al-Maturidi menolak ajaran Muktazilah tentang al-salal wa al-aslah, tetapi di samping itu Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
3)  Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan Muktazilah tetnatng Quran. Maturidi beranggapan bahwa Alquran sebagai kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, melainkan bersifat qadim.
4) Dalam hal dosa besar Al-Maturidi sepaham dengan Al-Asyari pula yaitu bahwa orang berdosa besar masih tetap mukmin, dan nasibnya kelak akan ditentukan Tuhan di akhirat.
5) Ia pun menolak paham tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilatain).

Sementara itu Al-Maturidi memiliki kesamaan paham dengan paham Muktazilah. Misalnya:
 1) Dalam hal perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat bahwa manusialah sebenar yang diwujudkan perbuatan-perbuatannya. Ini berarti Al-Maturidi cenderung menerima paham Kadariah, dan bukan paham Jabariah maupun kasb Asyari.
2) Dalam soal al-wa’d wal-wa’id Al-Maturidi tidak sependapat dengan Muktazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak pasti terjadi kelak.
3) Juga dalam soal anthropomorfisme Al-Maturidi tidak sependapat dengan Al-Asyari, dan yakin bahwa ayat-ayat tentang perbuatan Tuhan, seperti malihat, marah, tangan, wajah, dan sebagainya diberi interprestasi atau takwil.[14]
Mahzab Al-Maturidiyah berpendapat bahwa pada asalnya yang menerbitkan perbuatan itu adalah dua qudrah, yaitu qudrah Tuhan dan qudrah hamba. Tetapi yang menjadikan perbuatan tersebut adalah qudrah Allah semata-mata.[15]

D.    SEKTE – SEKTE AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
















BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah berarti berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpeganag teguh pada sunnah Rasulullah dan sunnah para sahabat. Ahlussunnahwal jamaah muncul disebabkan sebagai reaksi terhadap paham-paham Muktazilah. Ahlussunnah wal jamaah muncul pada akhir abad ke-3 H yang dipimpin oleh dua orang ulama besar yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Ahlusunnah Wal Jamaah sering disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni dan juga disebut Asy’ari atau Asy’ariyah yang dikaitkan dengan ulama besar yang pertama yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari.



[1] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Teologi Kalam (Teologi Isam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 187
[2]
[3] Sahilun A. Nasir, Op. Cit, hal. 189
[4] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 146
[5] Ibid., hal. 150
[6] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).
[7] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 89-90.
[8] Abu Su’ud, Islamologi, Op. Cit.
[9] A. Mustofa, Op. Cit., hal. 93-94
[10] Ibid., hal. 97
[11] A. Mustofa., Loc. Cit.
[12] Abu su’ud, Op. Cit.
[13] Abdul Rosak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hal. 150
[14] Abdul Su’ud, Op. Cit.
[15] A. Mustofa, Loc. Cit.
 


0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Text Widget

Diberdayakan oleh Blogger.
.comment-content a {display: none;}