AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini tepat waktunya.
Selesainya penyusunan makalah ini berkat bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis sampaikan
terimakasih kepada :
1.
Dosen pengampu mata kuliah Ilmu Kalam
yang telah memberikan tugas dan petunjuk dalam mengerjakan makalah sehingga
kami termotivasi untuk menyelesaikan makalah ini.
2.
Secara khusus penulis menyampaikan
terima kasih kepada keluarga dan teman-teman yang telah memberikan dorongan dan
bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis.
3.
Dan teman-teman satu kelompok,
berkat bekerjasamanya makalah ini dapat
selesai tepat pada waktunya.
Menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyususnan makalah ini dari awal sampai akhir.
Metro,
22 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Awal................................................................................................................ i
Kata
Pengantar...................................................................... ........................................ ii
Daftar Isi....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................
1
C. Tujuan.................................................................................................................
1
BAB II ISI
A. Pengertian
Ahlussunnah Wal Jamaah..................................................................
2
B. Sejarah
Munculnya Ahlussunnah Wal Jamaah..................................................... 3
C. Al-Asy’ari...........................................................................................................
4
D. Al-Maturidi.........................................................................................................
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................................
11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan mahzab yang paling dominan
dalam sejarah umat Islam. Ahlussunnah Wal Jamaah adalah aliran yang membahas
ajaran-ajaran dasar agama Islam yang muncul pada akhir abad ke-3 H yang
dipimpin oleh dua orang ulama besar yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur
Al-Maturidi. Ahlusunnah Wal Jamaah sering disebut sebagai Ahlussunnah saja atau
Sunni dan juga disebut Asy’ari atau Asy’ariyah yang dikaitkan dengan ulama
besar yang pertama yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari.
Aliran Al-Maturidiyah tidak jauh berbeda dengan aliran
Al-Asyariyah karena kedua lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila
aliran Al-Asyariyah berkembang di Basrah, maka aliran Al-Maturidiyah berkembang
di Samargand.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, kami akan membahas tentang aqidah Asy’ariyah dan aqidah Maturidiyah
diantaranya:
1.
Apakah pengertian Ahlussunnah Wal
Jamaah?
2.
Bagaimana sejarah munculnya aliran
Ahlussunnah Wal Jamaah?
3.
Bagaimana aliran yang dipimpin oleh
Al-Asy’ari?
4.
Bagaimana aliran yang dipimpin oleh Al-Maturidi?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan rumusan masalah di atas, diantaranya:
1.
Mengetahui dan memahami pengertian
Ahlussunnah Wal Jamaah.
2.
Mengetahui dan memahami sejarah
munculnya Ahlussunnah Wal Jamaah.
3.
Mengetahui dan memahami sejarah dan
aliran yang dipimpin oleh Al-Asy’ari.
4.
Mengetahui dan memahami sejarah aliran
yang dipimpin Al-Maturidi.
BAB II
ISI
A.
Pengertian Ahlussunah Wal Jaamaah
Alhussunah
wal jamaah adalah istilah yang berasal dari:
1.
’Ahl (Ahlun), berarti ”golongan” atau
”pengikut”
1.
Al-Sunnah berarti ”tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan
para sahabat Rasulullah saw.
2.
Wa, huruf ’athf yang berarti ”dan” atau ”serta”
3.
Al-Jamaah berarti jama’ah, yakni jamaah
para sahabat Rasulullah Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara
etomologis, istilah ”Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa
mengikuti jalan hidup Rasulullah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau,
golongan yang berpeganag teguh pada sunnah Rasulullah dan sunnah para sahabat,
lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin ’Affan, dan Ali bin Abi Thalib.[1]
Mahmud
Syukri al-Alusi menyatakan bahwa ahlussunnah adalah pengikut keluarga
rasulullah Saw., yakni orang-orang yang mengikuti thariqah keluarga rasul, dan
memenuhi seruannya. Para pemuka madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang
lainnya adalah para pemimpin ahlussunnah wal jama’ah karena mereka mengambil
ilmu dari para leluhurnya yang mengikuti petunjuk rasul Saw. dan keluarganya.[2]
Sedangkan
menurut Abu al-Fadl bin al-Syekh ‘Abd. Al-Syakur al-Sanuri dalam kitabnya “Al Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma
bi Ahlus Sunnah wa al-Jamaah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah
Wal Jamaah adalah golongan yang senantiasa berpegang teguh mengikuti Sunnah
Rasul Saw. Dan petunjuk (thariqah) para
sahabatnya, baik dalam lingkup aqidah, ibadah, maupun dalam lingkup akhlaq.[3]
Ungkapan Ahlussunnah sering disebut dengan
Sunni. Sunni dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu secara umum dan
khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syiah. Dalam
pengertian ini, Muktazilah –sebagaimana juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan
Sunni. Sedangkan dalam pengertian khusus adalah mahzab yang berada dalam
barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Muktazilah.[4]
B.
Sejarah
Istilah Ahli Sunah dan Jamaah ini timbul sebagai
reaksi terhadap paham-paham golongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari
tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan mahzab Muktazilah tersebut
memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya
di zaman khalifah-khalifah Bani Abas al-Makmum, al-Muktasim dan al-Wasiq (813 M
– 847 M). Di masa al-Makmum di tahun 872 M bahkan aliran Muktazilah diakui
sebagai mahzab resmi yang dianut negara.
Bertentangan
dengan paham Kadariah, yang dianut
kaum Muktazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam
berpikir, kemauan dan perbuatan, justru para pemuka Muktazilah memakai
kekerasan dalam usaha menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan
ialaha paham bahwa Alquran tidak bersifat kadim,
tetapi baharu dan diciptakan. Menurut mereka yang kadim hanyalah Allah.
Kalau lebih dari satu zat yang kadim, berarti kita telah menyekutukan Allah
atau syirik pada Allah. Quran menurut mereka adalah makhluk yang diciptakan
Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mahzab itu, semua calon
pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran
mahzab. Di antara ilmuwan ahli hadis yang menjalani tes resmi itu adalah Imam
Ahmad Ibn Hambal, yang menjadi pemimpin mahzab Hambali. Ilmuwan tersebut
dijatuhi hukuman mati, namun tidak dilaksanakan karena telah terjadi ergantian
khalifah karena khalifah lama wafat.
Paham Ahsunnah muncul
atas usaha Al-Asy-ari. Konon
ia menyatakan bahwa paham Muktazilah seasat. Versi lain menyatakan habwa sikap tersebut
diambil karena perbedaan paham antara Asyari dengan gurunya. Perdebatan itu
disusul kesangsian akan kebenaran kedua ajaran tersebut, karena dalil-dalil
yang digunakan sama-sama kuat. Sebagai penganut mahzab Imam Syafi’i yang
berbeda pandangan dengan ajaran Muktazilah, akhirnya Asyari memastikan
diri untuk meninggalkan mahzab Muktazilah, setelah memohon petunjuk dari Allah.
C.
TOKOH TOKOH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
1.
Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asya’ari adalah Abu
Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishak bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa
riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia
lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324
H/935 M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 517 H), ayah
Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Ia wafat
ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada
seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik
Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Muktazilah yang bernama
Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w.
231 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Muktazilah.[5] Ia
juga salah seorang andalan Muktazilah karena sering menggantikan Al-Jubba’i
dalam perdebatan menentang lawan-lawan Muktazilah dan banyak menulis buku yang
membela alirannya.[6]
Setelah 40 tahun menganut paham
Muktazilah, tetapi kemudian ia menjauhkan diri dari Mu’tazilah dan tinggal
beberapa lama di rumahnya mempertimbangkan alasan-alasan dari Mu’tazilah dan
dari ulama-ulam fiqh dan ulama-ulama hadits pada suatu hari ia keluar ke masjid
jami’ di Basharah pada suatu hari jumat, lalu naik ke atasa mimbar dan berkata
dengan lantang: ”Wahai manusia! Barang
siapa diantara kamu yang kenal pada saya, ia sudah mengenal saya. Tetapi barang
siapa tidak mengenal saya, saya akan memperkenalkan diri yang bahwa saya ini
adalah Abdul Hasan Al-Asy’ari , yang beberapa waktu meyakini bahwa Alquran itu
makhluk dan baharu dan bahwa Allah itu tidak dapat dilihat dengan mata dan
bahwa perbuatan jahat itu saya sendiri yang mengerjakannya, bukan dengan qada
dan qada yang sudah taubat dan saya sekarang menantang paham Mu’tazilah tentang
kesalahan pendiriannya. Wahai manusia yang hadir! Ketahuilah bahwa saya ini
hilang beberapa lama dari pergaulan, karena aku betul-betul sedang mempelajari
pertengkaran dan alasan-alasannya dari pada golongan besar ini. Sekarang Tuhan
telah memberi petunjuk kepadaku. Aku teguh dalam pendirianku dan kutulis semua
dalam buku ini (sambil ia memperlihatkan kepada umum sebuah risalah yang
terdiri dari pendirian-pendiriannya). Aku sudah membuang paham Mu’tazilah itu,
sebagaimana aku membuka bajuku ini sekarang dan melemprakannya ke
tengah-tengahmu.”
Al-Asy’ari memperlihatkan tantangannya
terhadap Mu’tazilah dan pokok-pokok pendiriannya terhadap keyakinan yang
kemudian menjadi keyakinan seluruh anggota ahli sunah wal jama’ah. [7] Ajaran teologi barunya kemudian dikenal
dengan nama Sunnah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal Jamaah selalu
diartikan pada kelompok paham teologi Asyariah maupun Maturidiah.
Pandangan Asyari sebagai tokoh yang
dikaitkan dengan paham Sunah wal Jamaah, dalam ilmu kalam dapat kita ikuti dari
karya-karya ilmunya, terutama Kitab
al-Luma’ Fil-Rad ’Ala Ahlul-Ziagh wal-Bida’ dan al-Ibanah ’an Usul al-Dianah, di
samping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Bahwa
Tuhan Allah Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat,
seperti Yang Melihat, Yang Mendengar, Yang Adil, dan sebagainya, namun tidak
dengan cara yang ada pada makhluk. Artinya ”bila
kaifa”, atau harus ditakwilkan lain.
2.
Quran
itu qadim, dan bukan ciptaan Allah,
yang dahulunya tidak ada.
3.
Tuhan
dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan
manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan
5.
Mengenai
anthropomotfisme, yaitu memiliki atau
melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan
bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun (bila kaifa).
6.
Keadilan
Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep
’janji dan ancaman’ (al-wa’d wa al-wa’id)
dari aliran Muktazilah.
7.
Menolak
konsep tentang posisi tengah (manzilah
bainal-manzilatain), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidaka ada
iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan
perbuatan.[8]
Dalam bidang i’tikad akan disebutkan
beberapa garis-garis pokok yang merupakan titik perjuangan Ahli Sunnah Wal
Jamaah.
Salah satu
diantaranya menetapkan adanya malaikat-malaikat-Nya, adanya kitab-kitab suci-Nya,
adanya rasul-rasul-Nya, adanya sesuatu yang datang dari Allah, mengaku benar
dan tidak menolak sesuatu riwayat yang jujur datang dari Rasulullah, lain
daripada itu mengakui bahwa Allah ta’ala itu satu tunggal, satu kekuatan
penciptaannya, tidak ada Tuhan selain dia, tidak ada teman-Nya dan tidak ada
anak-Nya, dan bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan rasul-Nya, surga dan neraka itu
benar, akhir masa dunia akan datang dengan tidak sak-wasangaka, bahwasanya
Allah akan membangkitkan hamba-Nya dari dalam kubur, bahwa Allah ta’ala
bersemayam diantara Arasy, sebagaimana dikatakannya dalam Quran: ”Tuhan Yang Maha Pemurah Itu bersemayam
diantar ”arasy”, bahwa Tuhan punya wajah, sebagaimana dikatakan dalam
Quran: ”Tatlakala akan kekallah wajah
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulyaan”, bahwa Tuhan mempunyai
tangan, seperti yang disebutkan dalam Quran: ”Mengikuti dengan kedua mata kami”, bahwa Tuhan mempunyai ilmu,
sebagaimana tersebut dalam Quran: ”Ia
menurunkannya dengan ilmunya”, selanjutkannya konsepsi ini membenarkan ada
kekuasaan atau qodrat Allah, seperti tersebut dalam Quran: ”Apakah mereka tidak melihat, bahwa Allahlah
yang menjadikan mereka itu, Allah itu mempunyai kekuasaan yang melebihi
kekuasaan mereka”, diakui Tuhan mempunyai sama’ dan bashar, pendengaran dan
penglihatan, tidak kami ingkari seperti yang diingkari Mu’tazilah dan Jahmiyah.
Selain daripada
itu wajib diakui dalam keyakinan, bahwa kalam Tuhan itu bukan makhluk, bahwa
Tuhan tidak menjadikan sesuatu melainkan dengan mengatakan: ”Kun, jadilah engkau”, maka yang
dikehendaki Tuhan: ”Fayakun, maka jadilah
ia”. Selanjutnya mengakui tidak ada sesuatu kejahatan dan kebijakan yang
terjadi diantara muka bumi ini melainkan dengan kehendak Tuhan, bahwa segala
sesuatu terjadi dengan iradat Tuhan, tidak berkuasa kita keluar daripada ilmu
pengetahuan Tuhan, bahwa seseorang tidak sanggup berbuat sesuatu, sebelum
dijadikan Tuhan, tidak dapat kita berlepas diri dari segala-segalanya daripada
kekuasaan Tuhan, tidak ada pencipta melainkan Allah, bahwa segala amal ibadah
dijadikan dan ditentukan untuk Allah, sebagaimana tersebut dalam Quran: ”Dan
Allah itu menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat, bahwa hamba Allah itu
tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi sebaliknya ia menciptakan, bahwa
Allah itu memberi taufik kepada orang mu’min untuk mentatainya, mempunyai belas
kasih untuk hamba, mengawasi mereka, jika Tuhan memperbaiki mereka, maka
manusia itu menjadi baik, Tuhan memberi petunjuk, maka mereka mendapat
petunjuk, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran:”Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, ia akan beroleh
petunjuk, barang siapa disesatkan, maka hamba itu akan merugi selama-lamanya.”[9]
Tuhan dan sifat-Nya
Sifat yang wajib
|
Sifat yang mustahil
|
1. Wujud, artinya ada
|
Tiada
|
2. Qidam, artinya sedia (adanya
tak didahului oleh tiada)
|
Baharu (adanya didahului oleh tiada)
|
3. Baqa, artinya kekal (adanya tak berkahir
|
Fana, (adanya berakhir)
|
4. Mukhalafatu lilhawaditsi, artinya tidak sama dengan yang baru
|
Serupa dengan yang baharu
|
5. Qiyamuhu Binafsihi, artinya sendiri (tak berhajad pada orang lain
|
Membutuhkan bantuan orang lain
|
6. Wahdaniya, artinya esa
|
Berbilang
|
7. Qudrah, artinya berkuasa
|
Lemah
|
8. Iradah, artinya berkehendak
|
Terpaksa
|
9. Ilmu, artinya mengetahui
|
Bodoh
|
10. Hayat, artinya hidup
|
Mati
|
11. Sama’ , artinya mendengar
|
Tuli
|
12. Bashar, artinya melihat
|
Buta
|
13. Kalam, artinya berkata-kata
|
Bisu
|
14. Qadirun, artinya yang berkuasa
|
Yang lemah
|
15. Muridum, artinya yang berkehendak
|
Yang terpaksa
|
16. ’Alimun, artinya yang mengetahui
|
Yang bodoh
|
17. Hayun, artinya yang hidup
|
Yang mati
|
18. Sami’un, artinya yang mendengar
|
Yang tuli
|
19. Bashirun, artinya yang
melihat
|
Yang buta
|
20. Mutakalimun, artinya yang berkata-kata
|
Yang bisu[10]
|
Mahzab
Al-Asy’ari perpendapat, bahwa yang menjadikan perbuatan hamba itu adalah Qudrah
Allah, tetapi besertanya ada Qudrah manusia. Qudrah Allah lah yang sebesranya
memberi bekas. Qudrah manusia tidak memberi bekas apa-apa.[11]
Koreksi
atas Ajaran Asyari
Beberapa tokoh
pengikut dan penerus Asyari adalah sebagai berikut. Muhammad Abu al-Baillani (w. 1013 M), meski tidak
begitu saja menerima ajaran-ajaran al-Asyari. Dalam beberapa hal ia tidak
sepaham dengan al-Asyari. Menurutnya, manusia mempunyai andil efektif dalam
perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri
manusia.
Pengikut Asyari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abd al-Malik
al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 M). Misalnya tentang
anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut dengan tangan Allah
harus diartikan (takwil) sebagai
kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah
Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar “bila kaifa” atau todak seperti apa pun,
seperti dikatakan Asyari. Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini
juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek
yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya
tarik yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain,
dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikian
seterusnya, sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. Dengan
demikian al-Juwaini berada jauh dari paham al-Asyari, sebaliknya dekat dengan
paham Muktazilah tentang hokum sebab akibat (causality).
Imam
Al-Gazali
Abu Humaid al-Gazali
(1058-1111 M) adalah pengikut al-Asyari terpenting dan terbesar pengaruhnya
pada umat Islam yang beraliran Alhi Sunah wal Jmaah. Tampaknya paham teologi
cenderung kembali pada paham-paham al-Asyari. Al-Gazali menyakini bahwa: (1)
Tuhan mempunyai sifat sifat qadim yang
tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat; (2) juga
Alquran bersifat qadim dan tidak
diciptakan. Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa (3) Tuhanlah
yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam
diri manusia lebih dekat menyerupaiimpotensi. Selanutnya al-Gazli perpaham
bahwa 94) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang berwujud pasti dapat dilihat;
(5) Al-Gazali juga beranggapan bahwa Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan berkuasa secara mutlak untuk
melakukan apa pun, termasuk mengampuni orang kafir atau menyiksa orang mukmin.
Berkat al-Gazali paham
Asyari dengan Sunah wal Jamaahnya berhasil berkembang ke manapun, meski di masa
itu pengaruh aliran Muktazilah amat kuat di bahwah pasang naik dan pasang surut
selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah
yang berkuasa. Di masa al-Mutawakil, Muktazilah mengalami surut. Sebaliknya
Bani Buwaihi sejak tahun 945 M, dari kelompok Syiah, kaum Muktazilah mengalami naik
lagi. Ketika kekuatan Bani Seljuk berhasil menguasai Bagdad, kembali paham
Sunah yang mengalami pasang naik. Di masa kekuasan Bani Seljuk itulah didirikan
perguruan Nizamiyah, tempat al-Gazali mendapatkan peluang resmi sebagai guru
besar untuk mengajarakan pahamnya.[12]
2.
Al-Maturidi
Abu Manshur
Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand,
wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun
lahir Al-Maturidi diperkirakan sekitar abad pertengahan ke-3 H. Ia wafat pada
tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin
Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa khalifah
Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/837-861 M.[13]
Sebagaimana paham
Asyariah aliran Maturidiyah termasuk aliran besar sunnah wal jamaah. Aliran ini
dipelopori oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Al-Maturidi adalah pengikut Imam Abu
Hanifah. Paham-paham teolognya terlihat banyak persamaannya dengan paham
teologi Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang diajararkan Abu Manshur
termasuk Maturidiah. Al-Maturidiay banyak memakai akal dalam system teologinya.
Oleh karena itu, antara teologinya dan teologi Al-Asy’ari terdapat
perbedaan dan persamaan:
1) Dalam soal
sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan dengan paham Asyari, yaitu bahwa Tuhan
memiliki sifat.
2) Sama dengan
Al-Asyari, Al-Maturidi menolak ajaran Muktazilah tentang al-salal wa al-aslah, tetapi di samping itu Al-Maturidi
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
3) Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan
Muktazilah tetnatng Quran. Maturidi beranggapan bahwa Alquran sebagai kalam
atau sabda Tuhan tidak diciptakan, melainkan bersifat qadim.
4) Dalam hal
dosa besar Al-Maturidi sepaham dengan Al-Asyari pula yaitu bahwa orang berdosa
besar masih tetap mukmin, dan nasibnya kelak akan ditentukan Tuhan di akhirat.
5) Ia pun menolak
paham tentang posisi tengah (manzilah
bainal manzilatain).
Sementara itu Al-Maturidi memiliki kesamaan paham dengan paham Muktazilah. Misalnya:
1) Dalam hal perbuatan
manusia, Al-Maturidi sependapat bahwa manusialah sebenar yang diwujudkan
perbuatan-perbuatannya. Ini berarti Al-Maturidi cenderung menerima paham Kadariah, dan bukan paham Jabariah maupun kasb Asyari.
2) Dalam soal al-wa’d wal-wa’id Al-Maturidi tidak sependapat dengan Muktazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak
boleh tidak pasti terjadi kelak.
3) Juga dalam
soal anthropomorfisme Al-Maturidi tidak sependapat dengan Al-Asyari, dan yakin
bahwa ayat-ayat tentang perbuatan Tuhan, seperti malihat, marah, tangan, wajah,
dan sebagainya diberi interprestasi atau takwil.[14]
Mahzab Al-Maturidiyah
berpendapat bahwa pada asalnya yang menerbitkan perbuatan itu adalah dua
qudrah, yaitu qudrah Tuhan dan qudrah hamba. Tetapi yang menjadikan perbuatan
tersebut adalah qudrah Allah semata-mata.[15]
D.
SEKTE – SEKTE AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
Ahlussunnah wal Jamaah berarti berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan
hidup Rasulullah Saw. Dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang
berpeganag teguh pada sunnah Rasulullah dan sunnah para sahabat. Ahlussunnahwal
jamaah muncul disebabkan sebagai reaksi terhadap paham-paham Muktazilah. Ahlussunnah
wal jamaah muncul pada akhir abad ke-3 H yang dipimpin oleh dua orang ulama
besar yaitu Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Ahlusunnah Wal
Jamaah sering disebut sebagai Ahlussunnah saja atau Sunni dan juga disebut
Asy’ari atau Asy’ariyah yang dikaitkan dengan ulama besar yang pertama yaitu
Abu Hasan Al-Asy’ari.
[1] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Teologi Kalam (Teologi Isam), (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), hal. 187
[4] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,
2012), hal. 146
[5] Ibid., hal. 150
[7] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), hal. 89-90.
[8] Abu Su’ud, Islamologi, Op.
Cit.
[9] A. Mustofa, Op. Cit., hal. 93-94
[10] Ibid., hal. 97
[11] A. Mustofa., Loc. Cit.
[12] Abu su’ud, Op. Cit.
[13] Abdul Rosak dan Rosihon Anwar, Op. Cit., hal. 150
[14] Abdul Su’ud, Op. Cit.
[15] A. Mustofa, Loc. Cit.
0 komentar:
Posting Komentar